Kamis, 18 Agustus 2011

OPTIMALISASI PERAN BAITUL MAL ACEH

 *Chairul Fahmi,MA


Baitul Mal Aceh (BMA) adalah sebuah lembaga daerah non struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, dan harta agama lainnya dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam (Pasal 1 Qanun No.10 Tahun 2007).

Sementara selama ini, peran Baitul Mal hanya lebih berperan pada pengelolaan harta zakat secara pasif. Artinya hanya berfungsi sebagai penghimpun dana dan penyalur kepada mustahiq (yang berhak mendapatkan hak zakat). Padahal qanun tersebut telah menyiratkan bahwa peran BMA tidak hanya berfungsi sebagai pengelola, tapi juga mengembangkan zakat tersebut. Dalam hal ini, upaya pengembangan zakat, menjadi sesuatu yang penting, dimana zakat tidak hanya sebagai hal yang konsumtif, namun juga ia lebih produktif. Sehingga harta tersebut tidak hanya habis untuk konsumtif, tapi juga dapat dikembangkan menjadi suatu modal lebih besar, dan dapat dimanfaatkan lebih luas dalam proses pengembagan ekonomi umat secara menyeluruh. 

Tantangan lainnya, yang dihadapi oleh BMA adalah ketidakmampuan dalam memungut harta zakat terhadap para Muzakki (wajib zakat). Padahal pasal 10 Qanun No.10 tahun 2007, telah memberikan kewenangan untuk mengumpulkan zakat, baik terhadap Lembaga Institusi Negara, baik instatusi pusat, daerah, BUMN, BUMD, Perusahaan swasta (private), dan juga zakat pendapatan dari PNS, Pegawai BUMN, POLRI, TNI, Anggota Dewan, dll. Selama ini peran BMA hanya menunggu atau meminjam istilah Ureung geumade, Theun umpang breuh (hanya menerima) tanpa ada kewenangan untuk memaksa para wajib zakat. Padahal dalam sejarah Islam, dimana Abu Bakar Siddiq pernah menyatakan akan memerangi orang yang memisahkan kewajiban shalat dan zakat. Artinya kewajiban zakat adalah sama pentingnya dengan kewajiban shalat. Hal inilah yang merupakan kelemahan BMA dan juga kelemahan qanun No.10 tahun 2007 yang tidak mencantumkan sanksi hukum bagi yang tidak membayar zakat.

Selain itu, fungsi Baitul Mal pada masa kejayaan Islam tidak hanya pada pengelolaan zakat, infak, sedekah dan harta wakaf saja. Melainkan juga mempunyai fungsi dalam pengumpulan pajak dari orang-orang non-muslim. Sebagaimana dinukilkan oleh Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitabnya Al-Nizhamu al-Iqtishadi fi al-Islam yang menjelaskan mengenai sumber-sumber pemasukan bagi Baitul Mal dan kaidah-kaidah pengelolaan hartanya. Dimana ia menyatakan bahwa sumber-sumber tetap harta Baitul Mal menurutnya adalah: fai’, ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum, pemasukan dari harta milik negara, usyuur, khumus dari rikaz, tambang, serta harta zakat.

Namun karena Aceh bukanlah sebuah Negara Islam yang berdiri sendiri, dimana semua aturan harus didasari oleh ketentuan perundang-undangan Indonesia, maka peran Baitul Mal tidak mempunyai kewenangan dalam pengelolaan pajak. Karena hal tersebut merupakan kewenangan kementerian keuangan di bawah dirjen Pajak, dan Dispenda untuk Provinsi Aceh. Maka yang dapat dilakukan oleh Baitul Mal Aceh adalah mengoptimalisasi peran yang lebih strategis sebagai salah satu instrumen bagi penciptaan perekonomian umat  dengan mengembangkan perekonomian berbasis syariah (social-profit), dengan landasan tolong-menolong.

Prinsip tolong menolong ini didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam terhadap banyaknya masyarakat miskin (yang notabenenya umat Islam) yang terjerat oleh sistem perekonomian ribawi, maka sebagai alternatif bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya, peran Baitul Mal sudah seharusnya dikembangkan menjadi suatu lembaga keuangan kecil yang beroperasi dan menggunakan konsep Baitul Mal yang target, sasaran, dan skalanya pada sektor usaha mikro.
Upaya untuk mengembangkan fungsi dan kewenangan Baitul Mal dalam peningkatan pemberdayaan ekonomi umat dapat dikembangkan menjadi suatu  lembaga keuangan mikro berbasis syariah muncul dan mencoba menawarkan solusi bagi masyarakat kelas bawah.

Mengenai konsep ini, lebih tepatnya disebut dengan lembaga keuangan syariah,  yaitu organisasi ekonomi yang operasionalnya berdasarkan syariah Islam. Sebagai lembaga keuangan mikro bergerak dalam kegiatan usaha menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Meskipun secara yuridis bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Namun sebagai daerah yang mempunyai kewenangan khusus, konsep ini dapat dikembangkan dengan menyempurnakan kembali Qanun Baitul Mal dengan landasan UUPA No.11 tahun 2006 yang merupakan lex specialist bagi Aceh, sehingga dengan adanya aturan khusus ini, secara hukum konsep ini dapat dikembangkan secara legal-formal. 

Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung. Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan oleh Baitul Mal karena Baitul Mal sebagai organisasi yang terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.

Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan ekonomi. 

Jika peran Baitul Mal seperti ini, maka pendayagunaan zakat akan berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.

Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal kehidupan umat, Dengan kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya. Diantaranya adalah: (1) misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal; (2) Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum; (3) Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi sumber dana pendukung dakwah Islam. Wallahu’alam []  

*Chairul Fahmi,MA | Staf Pengajar Fak.Syariah IAIN Ar-Raniry & Peneliti The Aceh Institute.

Sumber :  Aceh Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar